Sebab, BPJS melalui pedoman INA-CBG's (Indonesia Case Base Groups) hanya membayar biaya perawatan dan pengobatan sesuai tarif standar. Manakala rumah sakit tidak berhati-hati, berpotensi kolaps, karena besar pasak dari pada tiang.
Maksudnya, tarif pengobatan dan perawatan pasien di rumah sakit ditentukan oleh pihak BPJS bukan Rumah Sakit. Ketika pasien pengguna BPJS berobat, biaya selama berobat berdasarkan paket, bukan berdasarkan rincian tindakan atau lama rawat inap.
Ini hanya sebuah ilustrasi, seandainya pasien masuk rumah sakit mengalami radang usus buntu (appendiksitis) lalu masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan menjalani pembedahan di kamar operasi, selanjutnya dirawat dibangsal. Dengan rincian biaya selama dirawat di kelas 3 rumah sakit tipe C telah memakan biaya sejumlah 6 juta rupiah.
Laporan pengobatan pasien tersebut diklaim oleh rumah sakit ke BPJS, dan pihak BPJS hanya membayar sebanyak Rp. 2.500.000,- sesuai dalam tarif INA-CBG's bahwa tindakan operasi kelompok besar hanya dibayarkan Rp. 2.500.000,-
Jumlah klaim tersebut sudah klop semua, terhitung sejak pasien mulai masuk, biaya operasi, obat-obatan hingga biaya perawatan. Maknanya dengan kondisi demikian tentunya rumah sakit rugi. Sebanyak Rp 3.500.000,- jika klaim hanya dibayarkan dua juta lima ratus ribu rupiah.
Manakala kondisi demikian terjadi terus-menerus anggaplah dalam 1 bulan terjadi 10 kali pada kasus tindakan appendiksitis, maka rumah sakit telah rugi 35.000.000,- rupiah dan dikali selama 1 tahun, kerugian hampir 420 juta rupiah untuk satu kasus appendiksitis.
Dan bagaimana dengan kasus lainnya, seperti tindakan pemasangan plate screw pada pasien patah tulang, yang mana inflant terbilang mahal, termasuk tindakan pembedahan laparaskopi, dan lain-lainnya.
Muncul pertanyaan, bagaimana cara mengatasi hal demikian, agar rumah sakit tidak kolaps atau bangkrut di era BPJS ini?
Padahal rumah sakit milik pemerintah baik pusat maupun daerah, sebetulnya bisa mendatangkan income besar di era BPJS ini, apa bila melihat ini sebagai peluang.
Sebab, rumah sakit milik pemerintah mendapatkan bantuan dari APBD dan APBN dalam hal pengembangan sarana, fasilitas, dan pembangunan fisik.
Artinya ketersediaan alat kesehatan yang harganya mahal, bisa diadakan melalui perencanaan keuangan daerah maupun bersumber dari anggaran negara.
Rumah sakit milik pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan budget yang besar seperti rumah sakit swasta. Pastinya rumah sakit milik pemerintah lebih maju dibandingkan rumah sakit swasta yang membiayai operasional secara mandiri. Dan memikirkan bagaimana cara bisa bertahan ditengah tarif berobat alakadarnya versi BPJS.
Dalam sebuah kesempatan, di bulan Oktober 2017, penulis berkesempatan mengikuti Kaizen Festival disingkat 'Kaifest' yang mana dihadiri oleh puluhan manajer Rumah Sakit dari berbagai daerah dan dari 13 propinsi serta ratusan staf yang mengikuti lomba festival berbasis inovasi.
Dalam rangka kaifest, juga dihadirkan dan diperkenalkan bagaimana cara memanage rumah sakit di era BPJS dan memaknainya sebagai peluang, bukan sebagai penghambat kemajuan rumah sakit.
Acara itu diselenggarakan oleh Rumah Sakit swasta yang terletak di petamburan Jakarta Barat, yakni Rumah Sakit Pelni, dibawah kepemimpinan dr.Fathema Djan Rachmat, RS.Pelni milik BUMN itu mampu survive dan bahkan jadi 'kiblat' puluhan rumah sakit swasta maupun milik pemerintah mengelola keuangan berbasis "Lean Management."
Lean Management adalah manajemen yang efisien, ramping dan tidak melakukan pemborosan. Lean Management ini mengadopsi dari perusahaan-perusahaan manufacturing Jepang.
Satu posisi penting ketika menerapkan lean management yakni membangun kesadaran Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja dalam satu instansi terpaut dalam teori Kaizen.
Kaizen diadopsi dari bahasa Jepang, yakni "Kai"= berubah "Zen"= baik, jadi Kaizen berubah menjadi lebih baik secara berkesinambungan.
dr. Fathema yang juga ahli bedah kardiovaskuler memaparkan, dalam penerapan Lean Management di rumah sakit Pelni, hal utama yang ia bangun adalah kesadaran dan budaya kerja. Sehingga lahirlah divisi budaya. Petugas yang bermasalah dengan pelayanan direhabilitasi di Klinik Budaya.
Selanjutnya dalam menekan 'cost' sekecil-kecilnya dengan catatan kualitas pelayanan tidak berkurang, serta bisa mendatangkan keuntungan bagi rumah sakit, maka dilakukan kajian sederhana dan berinovasi berbasis teknologi untuk mengatasi persoalan.
Seperti layanan poliklinik misalnya, yang biasanya pasien dan keluarga menunggu berjam-jam dipangkas menjadi 15 menit saja. Dalam waktu singkat, semua proses pengobatan selesai, dikenal dengan 'waiting time' hanya 15 menit.
"Seperti , berapa kali penunggu buang air besar dan buang air kecil? Seandainya pengantri di poliklinik lebih dari seribu setiap hari, dan di rumah sakit Pelni sendiri tiap hari pasien sejumlah1500, dikalikan dalam setahun, itu merupakan pengeluaran yang luar biasa," paparnya saat memberikan materi di Kaifest.
"Termasuk area parkir yang digunakan pengunjung, dengan lamanya waktu tunggu juga akan tidak efektif serta bisa mengurangi pendapatan rumah sakit," pungkasnya yang telah menerapkan sistim parkir berbasis elektronik di rumah sakit Pelni.
Ia menambahkan, "sejak menerapkan waiting time 15 menit, dari parkiran bisa mendatangkan income sebanyak 800 juta per tahun, dan penggunaan air bisa ditekan puluhan juta pertahun."
Ilustrasi di atas, hanya sebagian contoh kecil dalam menekan 'cost' dan cara mendapatkan keuntungan di era BPJS di rumah sakit Pelni.
Sebagai jawaban dari persoalan di atas, di Rumah Sakit Pelni sendiri telah menerapkan antrian digital berupa Anjungan Pendaftaran Mandiri (ATM), mirip ATM Bank.
Pasien poliklinik cukup menggesekan kartu berobat dan keluar nomor antrian yang terkoneksi dengan BPJS dan poliklinik, melalui pendaftaran via ATM tersebut. Pasien menumpuk tidak terjadi lagi.
Tidak saja ATM, manajemen rumah sakit Pelni juga membangun Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), yang terkoneksi antar unit. Bahkan, inventaris obat-obatan pun dapat dikendalikan. Tidak ada lagi, obat-obatan yang kadaluarsa, atau sediaan obat habis. Sistem terbangun dengan baik.
Termasuk, resep dokter, Asuhan Keperawatan, hasil laboratorium, photo rongent berupa digital, mereka tidak lagi menggunakan kertas, dan film rongent yang bisa menekan 'cost' tiap tahunnya. Semuanya berbentuk digital.
Kecuali informed content ( persetujuan tindakan medis) masih menggunakan kertas, karena perlu dibubuhkan tanda tangan antara pasien dengan petugas.
Terungkap di Kaifest, bahwa bukan Rumah sakit Pelni saja yang telah menerapkan SIRS, tapi sebuah RSUD tipe B di Parikesit, Tenggarong berkat dukungan rumah sakit Pelni, juga sukses menerapkannya.
Dalam suatu kesempatan di Kaifest, dr.Martina Yulianti selaku direktur utama RSUD Aji Muhammad, Parikesit Tenggarong menyatakan di depan forum, bahwa setelah diterapkan Lean Management berbasis SIRS, pendapatan meningkat drastis menjadi 9-10 Milyar perbulan, yang sebelumnya hanya 4 Milyar di era BPJS ini.
Tidak itu saja di tahun 2017, RSUD yang ia pimpin diganjar pula sejumlah penghargaan bergengsi. Seperti KPK memberikan penghargaan RSUD milik daerah bebas korupsi dan penghargaan dari Kemenpan-RB sebagai 'Inovasi Pelayanan Publik' terbaik dari 50 nominasi rumah sakit yang dinilai seluruh Indonesia.
Pertanyaanya, bagaimana teknis menerapkan Lean Management berbasis digital yang dimaksud? Insyaallah akan penulis ulas di tulisan berikutnya.(AntonWijaya)
No comments:
Post a Comment